Ravi Armansyah

Laki-laki, 13 tahun

Gresik, Indonesia

Banggalah pada dirimu sendiri, Meski ada yang tak Menyukai. Kadang mereka membenci karena Mereka tak mampu menjadi seperti dirimu.
::
Start
Windows 8 SM Versi 3
Shutdown

Navbar3

Search This Blog

Friday, June 28, 2019

Fatimah al-Fihri: Wanita Muslim Pendiri Universitas Pertama di Dunia


Pernahkah kita bertanya-tanya, utamanya bagi yang sudah pernah atau sedang menjalani pendidikan tinggi di sebuah Unviersitas, dari mana asal-usulnya sebuah Universitas? Barangkali yang terlintas dalam pikiran adalah kedigdayaan Eropa yang hari ini begitu pesat kemajuannya dalam ilmu pengetahuan. Tapi kenyataannya begitu berbeda, ternyata bukan Eropa. Terlebih, penggagas Universitas pertama di dunia ternyata seorang perempuan Muslim. Fakta ini akan membantah semua stigma buruk yang menganggap perempuan Muslim adalah perempuan yang tertekan atau tertindas yang tidak mampu berbuat apapun.
Dialah Fatimah al-Fihri, wanita Muslim yang mendirikan Universitas pertama di dunia. Tidak hanya sekedar pendiri, ide mengenai Universitas ini dan penentuan lokasinya pun semuanya berasal dari dia. Kehadiran Universitas pertama di dunia ini akan mengubah wajah seluruh pendidikan tinggi di dunia selamanya. Universitas ini nantinya akan mempunyai pengaruh yang besar bagi dunia pendidikan di wilayah Timur Tengah, dan bahkan Eropa. Salah satu lulusan terbaik dari Universitas ini di kemudian hari akan membuat revolusi pendidikan dan kesarjanaan di Eropa. Nama dari Universitas pertama di dunia ini adalah Universitas Qairouan (Al-Qarawiyyin).

Ilustrasi Fatimah Al-Fihri. Lukisan wanita timur tengah karya Jan Frans Portaels (1818-1895), Belgian School.
Fatimah al-Fihri adalah seorang janda Muslim kaya yang bertekad menggunakan harta warisannya untuk sesuatu yang berbeda. Pada tahun 859, di kota Fes, Maroko, Fatimah mendapatkan izin dari penguasa setempat untuk mendirikan sebuah Universitas. Hal yang dilakukan oleh Fatimah pada waktu itu adalah suatu hal yang akan mengubah wajah pendidikan di dunia selamanya. Berdasarkan UNESCO dan the bookGuinness World Records, Universitas Qairouan adalah Universitas pertama dan juga tertua yang memberikan gelar bagi para lulusannya.
Fatimah bukanlah penduduk asli Fes, dia berasal dari kota Qairouan, atau yang di masa kini dikenal dengan Tunisia. Pada waktu itu Qairouan merupakan kota pertama yang menjadi pusat studi Islam di Afrika. Ayah Fatimah, Muhammad al-Fihri, merupakan pedagang sukses yang terpaksa memindahkan keluarganya sejauh lebih dari 1600 km dari Qairouan ke Fes di Maroko.
Keluarga Muhammad al-Fihri tidak sendirian. Pada waktu itu, tahun 818 H, terjadi pemberontakan terhadap penguasa setempat Qairouan, yaitu Aghlabid. Aghlabid adalah penguasa lokal Qairouan yang ditempatkan oleh Dinasti Abbasiyah dari pusat pemerintahan di Baghdad. Usaha untuk menggulingkan keluarga Aghlabid gagal, dan setelah pemberontakan itu Aghlabid merespon dengan mengusir 2000 keluarga dari Qairouan, termasuk salah satunya adalah keluarga Fatimah. Banyak dari pengungsi tersebut diterima di Fes, Maroko.
Pada waktu itu Maroko baru saja berganti penguasa. Dinasti yang baru saja berkuasa pada waktu itu adalah Bani Idrisiyah, mereka berasal dari kelompok Syiah. Karena pada waktu itu pertarungan kekuasaan antara Suni dan Syiah sedang bergejolak di Semenanjung Arab, Bani Idris lebih memilih untuk pergi keluar dan mengukuhkan dinastinya jauh di Barat Laut Afrika.
Fes, salah satu kota di Maroko—sebagaimana kampung halaman Fatimah—adalah kota yang baru saja berdiri. Pembangunan kota Fes dibagi ke dalam dua tahap, pertama, pada tahun 789 oleh Idris I, dan kedua, pada tahun 808 oleh Idris II, yang mana merupakan putra dari Idris I sekaligus pewaris tahta kekuasaan.
Ketika Idris II menjadikan Fes sebagai pusat kota Maroko, masa depan kesejahteraan penduduk kota sudah dapat dipastikan. Lokasi Fes, sebagaimana Qairouan, adalah lokasi yang ideal bagi perdagangan. Fes berada di dataran yang menjadi perlintasan antara daerah barat menuju Samudra Atlantik, dan daerah Utara menuju Laut Mediterania. Kota Fes dibangun di celah yang membentang melalui Pegunungan Atlas Tengah.

Peta Maroko
Kekayaan Fatimah al-Fihri
Ayah Fatimah—yang hanya dalam waktu 10 tahun menetap di Ibu Kota baru tersebut—telah berhasil sukses kembali, dan saat dia meninggal, Fatimah dan saudara-saudaranya mewarisi kekayaan yang sangat besar.
Fatimah bertanya-tanya, apa yang harus dilakukan dengan kekayaan baru ini? Ayah Fatimah telah membesarkan Fatimah—dan saudara perempuannya yang bernama Mariam—untuk mendapatkan pendidikan terbaik. Fatimah dan Mariam memutuskan untuk menggunakan harta mereka untuk membangun masjid dan sekolah bagi masyarakat setempat. Kompleks ini kemudian dikenal sebagai masjid dan sekolah Qairouan karena dibangun di bagian Fes di mana sebagian besar pengungsi dari Qairouan, Tunisia, menetap.
Awalnya, Qairouan memiliki fungsi keagamaan yang sama dengan masjid dan madrasah-madrasah lainnya, yaitu pengajaran tentang ilmu-ilmu tradisional Islam yang menjadi landasan ajaran Islam di mana pun. Tiga bidang studi utama bagi siapa saja yang sedang mempelajari ajaran Islam adalah sebagai berikut ini: Studi Ilmu Tafsir Al-Quran, Studi Ilmu Hadis, dan Studi Ilmu Fiqh.

Universitas Al-Qarawiyyin pada masa kini. 
Namun, pada perkembangannya sekolah Qairouan juga menawarkan pelajaran non-Islam sebagai bagian dari pendidikan yang lebih luas, termasuk matematika, astronomi, astrologi, fisika, puisi, dan sastra. Inovasi ini merupakan hal yang penting bagi Qairouan untuk menjadi lebih dari sekedar sekolah keagamaan. Hal itu juga yang merupakan titik balik dalam sejarah Universitas Qairouan—dan untuk masa depan pendidikan tinggi di seluruh dunia.
Pada perkembangan lebih lanjut, pendidikan di Qairouan tidak lagi mewajibkan pelajaran agama, dalam artian non-muslim pun bisa saja sekolah di situ. Mata pelajaran pendidikan tingkat tinggi sekarang secara teknis terbuka bagi siapa saja yang memiliki keinginan untuk belajar. Pada akhirnya, yang dilakukan oleh lembaga pendidikan Qairouan terbukti menjadi momen revolusioner bagi masyarakat manusia, berkembang melampaui zamannya, dan tidak terbatas pada penduduk Afrika Utara saja, tapi merambah ke kalangan Muslim Timur Tengah yang lebih luas. (PH)
Catatan: Artikel ini merupakan adaptasi dan terjemahan dari buku: Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), chapter 10.
Read More --►

Monday, March 18, 2019

Terkadang Kita Memang Kerap Salah Memahami Hijrah



Belakangan kata “hijrah” menjadi bahasa yang khas digunakan oleh sebagian muslim yang berusaha mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik, taat dan bertakwa. Dalam ajaran Islam, praktik seperti ini bukan disebut dengan “hijrah”, melainkan “taubat”.

Kata “hijrah” dalam kamus bahasa Arab Lisanu al-‘Arab karya Ibnu Mandhur (w. 711 H) diartikan dengan “keluar dari satu tempat ke tempat lain” (al-khuruj min ardl ila ardl). Imigrasi Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah disebut dengan “hijrah” karena Nabi Saw meninggalkan Makkah, dalam arti keluar darinya, berpindah menuju Madinah, yakni keluar dari satu wilayah untuk menempat di wilayah lain. (1414 H: V, 251).

Hijrah dengan arti demikian, yakni meninggalkan satu tempat untuk menetap di tempat lain dalam Islam dianjurkan, bahkan dalam keadaan tertentu wajib apabila di tempat yang pertama atau wilayah yang ditinggali terdapat kemaksiatan dan kezaliman yang merajalela sementara seseorang tidak bisa menghentikannya. Maka dalam hal ini ia dianjurkan untuk hijrah, yakni berpindah meski harus meninggalkan harta bendanya.

Dalam al-Quran kata “hijrah” dengan beragam derivasinya disebut sebanyak 31 kali. Semuanya mengandung arti meninggalkan keburukan yang melekat pada sesuatu atau keadaan yang berada di luar diri seseorang, yakni keburukan atau kezaliman berada di dalam konteks atau perilaku orang lain, bukan berada pada dirinya sendiri.

Misalnya dalam QS. An-Nisa 34 yang menjelaskan tentang istri yang membangkang terhadap janji atau kesepakatan di dalam pernikahan disebutkan “wahjuruhunna fi al-madlaji’” (tinggalkanlah mereka di tempat tidur), “wa-hjuru” derivasi dari kata “ha-ja-ra” dalam ayat ini berarti “meninggalkan” istri yang berperilaku buruk, yakni menyalahi aturan. Keburukan di sini bukan dilakukan oleh suami yang diperintahkan untuk “hijrah” atau meninggalkannya, tapi istri yang ditinggalkan. Jadi keburukan berada “di” dan datang “dari” luar orang yang hijrah.

Contoh lain dalam QS. Al-Baqarah 218, QS. Ali Imran 190, QS. Al-Anfal 72 dan lainnya yang disebutkan dengan “al-ladzina hajaru” (orang-orang yang berhijrah), kata “hajaru” digunakan untuk menunjukkan makna para sahabat Nabi Muhammad Saw yang meninggalkan Makkah karena diusir atau menghindari kezaliman penduduknya. Kezaliman dan keburukan di sini bukan dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya yang hijrah, melainkan berada “di” dan datang “dari” luar, yakni orang-orang kafir Makkah.

Jadi kata “hijrah” dalam al-Quran digunakan sebagaimana makna kebahasaannya, yaitu meninggalkan sesuatu, orang atau keadaan yang buruk. Keburukan di sini bukan berada pada orang yang melakukan hijrah, melainkan berada di luar dirinya, baik itu seorang maupun orang banyak atau masyarakat.

Lalu apa istilah yang tepat untuk menunjukkan praktik meninggalkan perbuatan maksiat atau dosa dan berusaha mengubah diri menjadi pribadi yang baik? Praktik demikian dalam ajaran Islam disebut dengan “taubat”. Dalam QS. At-Tahrim 8 disebutkan bahwa orang-orang yang beriman diperintahkan untuk bertaubat dengan sebaik-baiknya (tubu ilallah taubatan nashuha).

Dalam QS. An-Nisa 17 dinyatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan buruk atau maksiat lalu segera bertaubat kepada Allah maka Allah akan menerima taubatnya.
Read More --►

Thursday, January 17, 2019

Tidak Shalat Selama Bertahun-tahun, Apakah Harus Mengganti?


Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan:
Aku pernah tidak shalat sama sekali selama tiga tahun, karena aku berada dalam kondisi akhlak yang paling bejat ketika itu. Belum lama ini, Allah Ta’ala memberikan karunia-Nya kepadaku untuk bertaubat, dan aku berharap ini adalah taubat nasuha. Aku mulai shalat berjamaah di masjid, dan aku tinggalkan semua hal yang bisa merusak agamaku, serta semua hal yang bisa merusak akhlak dan perilakuku.

Untuk shalat yang tidak aku kerjakan selama tiga tahun tersebut, apakah aku harus menggantinya (qadha’)? Lalu, bagaimanakah (qadha’-nya)?

Jawaban:
Tidak ada kewajiban qadha’ untukmu dengan dua alasan:

Pertama: Meninggalkan shalat adalah perbuatan yang mengeluarkan seseorang dari agama Islam, sehingga status orang tersebut adalah kafir, menurut pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini. Pendapat ini didukung oleh dalil-dalil tegas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Berdasarkan hal ini, kembalinya dirimu ke dalam Islam (dengan melaksanakan shalat, pen.), telah menghapus (dosa) yang telah lalu, sesuai dengan firman Allah Ta’ala,

قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu” (QS. Al-Anfal [8]: 38).

Kedua: Barangsiapa yang meninggalkan satu jenis ibadah yang sudah ditentukan waktunya, sampai keluar dari waktu yang sudah ditentukan tersebut (sampai batas waktunya berahir, pen.), tanpa ada alasan yang bisa dibenarkan oleh syariat (tanpa udzur syar’i), kemudian dia bertaubat, maka dia tidak perlu meng-qadha’ ibadah yang telah dia tinggalkan tersebut.

Hal ini karena ibadah yang ditentukan waktunya tersebut, sudah dibatasi waktu awal dan waktu akhir untuk melaksanakannya. Telah valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amal tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718).

Hal ini juga tidak bisa disanggah dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا

“Barangsiapa yang lupa (tidak) mengerjakan shalat (sampai waktunya habis, pen.), maka shalatlah ketika sudah ingat” (HR. Bukhari no. 597).

(Tidak pula bisa disanggah) dengan firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).

Karena penundaan (qadha’) pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut (sehingga dilaksanakan di luar waktu yang sudah ditentukan, pen.) adalah karena udzur syar’i. Mengganti (qadha’) ibadah di luar waktunya karena ada udzur syar’i itu dinilai sama dengan melaksanakan ibadah tersebut pada waktunya dalam hal ganjaran dan pahala.

Berdasarkan penjelasan ini, Engkau tidak perlu mengganti shalat yang telah ditinggalkan selama tiga tahun tersebut, sebagaimana yang telah Engkau sebutkan.

***
Diselesaikan di sore hari ba’da ashar, Rotterdam NL, 14 Sya’ban 1439/ 1 Mei 2018

Penerjemah: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id

Diterjemahkan dari:
I’laamul Musaafiriin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala, hal. 35-37 (pertanyaan nomor 40).
Read More --►

Wednesday, January 16, 2019

Kisah Wanita Yang Menolak lamaran Rasulullah SAW (Ummu Hani binti Abi Thalib)


Rasulullah adalah sosok mulia dan bertindak sebagai tauladan bagi seluruh umat islam didunia. Dengan figur beliau yang sangat berwibawa, sudah pastilah para muslimah yang sholihah dan menginginkan derajat surga yang tinggi mendambakan cinta dari beliau. Itulah kenapa Rasulullah memiliki beberapa istri-istri sholihah yang selalu berada disisi beliau untuk mendukung dan berjuang menyebarkan kebaikan islam. Diantara banyak wanita tanah Arab pada waktu itu, ternyata ada satu wanita yang menolak lamaran beliau lho! Dia adalah Ummu Hani binti Abi Thalib.

Siapakah Ummu Hani binti Abi Thalib?

Wanita yang satu ini merupakan sosok yang dihormati dan dianggap merupakan wanita teladan. Nama asli dari Ummu hani sebenarnya adalah Fakhitah binti Abi Thalib bin Abdul Muthalib yang notabene merupakan sepupu Rasulullah. Dalam beberapa penjelasan alim ulama, Ummu Hani adalah keturunan Bani Hasyim dalam kabilah Quraisy dan merupakan saudara kandung Ali bin Abi Thalib.

Diceritakan dalam beberapa sumber bahwasanya Rasulullah SAW sebelum menerima wahyu dan dijadikan utusan oleh Allah, pernah meminang Ummu Hani. Namun apa daya, karena tradisi balas budi ditanah arab pada waktu itu, lamaran beliau ditolak karena Ummu hani harus menikah dengan Habirah bin Abi Wahhab karena Abi Thalib berhutang budi kepada keluarganya.

Setelah nabi Muhammad diangkat sebagai Rasulullah dan menerima wahyu untuk berdakwah, islam pun mulai berkembang pesat didataran arab. Setelah islam berjaya dan orang kafir terkalahkan. Suami Ummu hani binti Abi Thalib melarikan diri dari Makkah dan memilih untuk hidup dalam kekafiran. Sementara itu, beliau hidup menjanda dan merawat anak-anaknya. Melihat hal itu, Rasulullah pun kemudian berniyat untuk melamar Ummu Hani untuk kali kedua.

Penolakan Lamaran kedua dari Rasulullah

Mendengar Rasulullah meminang dirinya kembali untuk kedua kali, hati Ummu hani binti Abi Thalib bergetar. Banyak kegundahan yang berkemelut dalam dirinya. Hatinya berkata untuk menerima Rasulullah sebagai suami karena sosoknya yang berwibawa dan bertanggung jawab, namun disisi lain dia juga memiliki beban moral untuk anak-anaknya.

Ummu Hani binti Abi Thalib kemudian menjawab kepada Rasulullah “Sesungguhnya melebihi pandangan dan pendengaranku, itulah cintaku pada Engkau yaa Rasulullah! Namun aku khawatir dengan kewajibanku kepada suami. Sesungguhnya hak suami sangatlah besar, aku takut bila aku melayani suami kemudian aku menelantarkan anak-anakku dan aku takut pula jika aku meramut anakku, aku akan melalaikan tugasku sebagai istri yang memberikan hak-hak suaminya”

Mendengar jawaban itu, kemudian Rasulullah pun berkata “terpujilah wanita yang dia sangat sayang kepada anak-anaknya yang masih kecil, serta dia berhati-hati atas tugasnya sebagai seorang istri”

Apa yang bisa dipetik dari cerita diatas?

Menjadi istri yang sholihah sama dengan mengemban tugas yang sangat berat. Istri memiliki kewajiban yang harus dilakukan dan harus memenuhi segala hak-hak suaminya atas dirinya. Itulah yang kami ingin tekankan kepada sobat Cahayaislam disini kali ini (bukan tentang menolak lamaran ya!). Beliau menolak lamaran Rasulullah karena takut dan memiliki kekhawatiran atas tugas-tugasnya sebagai ibu bagi anak-anaknya dan istri bila nanti menjadi Rasulullah. Jadi, mari kita renungkan bersama, sudahkah kita menjadi istri-istri yang sholihah dan ta’at pada suami?
Semoga bermanfaat ya!
Read More --►

Cara Bertaubat dari Dosa Besar Riba


:: INGAT : Diantara syarat diterimanya taubat adalah al-iqla’ (الإقلاع)…

Maksud dari al-iqla’ adalah ketika kita bertaubat harus dalam keadaan terbebas dari kemaksiatan yg akan kita taubati itu.

Misal : seseorang ingin taubat dari dosa judi, maka tidak boleh dia bertaubat dalam kondisi sedang berjudi. Berhenti dulu dari main judinya, baru bertaubat.

Yg perlu kita renungkan, bagaimana caranya bertaubat dari dosa riba bunga bank?

Seseorang membuka rekening di Bank ribawi, dana yg disimpan di bank tersebut dipakai untuk aktivitas ribawi… diapun dapat bunga (riba)… bagaimana cara bertaubatnya?

Berikut cara bertaubat darinya :

Pertama : menyesal (an-nadam).

Seseorang yg ingin bertaubat dari dosa riba ini, harus menyesal terlebih dahulu… menyesal karena sdh melakukan dosa riba.

Kedua : berlepas diri (al-iqla’).

Jika ingin bertaubat, dia wajib berlepas diri dari dosa riba ini… bagaimana caranya berlepas diri? Tutup rekening!
(Catatan : para ulama memberikan keringanan bagi seseorang yg terpaksa atau terdesak kebutuhan untuk membuka rekening di Bank Ribawi… maka sdh sepantasnya kita tidak bermudah2an dalam memiliki rekening bank ribawi jika tidak benar2 mendesak).

Ketika : berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.

Jika sudah tutup rekening dan menyesal pernag bertransaksi ribawi, hendaklah seorang yg bertaubat berjanji pada dirinya juga kepada Allah untuk tidak mengulanginya lagi (yaitu buka rekening di bank ribawi).

Keempat : mengeluarkan harta haram.

Harta dari riba hukumnya haram, maka ketika seseorang bertaubat dari riba hendaknya dia menghitung seluruh bunga (riba) yg sdh dia terima dan kemudian di keluarkan… disedekahkan pada kepentingan umum, spt : membangun wc umum, perbaikan jalan, dst… atau diberikan kepada fakir miskin yg sangat membutuhkan uluran sedekah.

Wallahu a’lam.
Read More --►

BAGAIMANA HUKUM SHALAT TIDAK MEMAKAI BAJU TETAPI HANYA HANDUK DAN LANGSUNG MUKENA

PERTANYAAN :
Assalamu'alaikum, gimana hukumnya bagi seorang wanita yang shalatnya tidak memakai baju melainkan menggunakan kain/handuk saja terus mukenah.

JAWABAN :
Wa'alaikum salam, Salah satu syarat sah sholat adalah menutup aurat, Dalam masalah menutup tidak dikhususkan hanya dengan pakaian,tetapi menggunakan apa saja yang mampu berfungsi untuk menyembunyikan aurat asalkan suci dan mampu mencegah terlihatnya warna kulit (tidak transparan).Dengan demikian jika hanya menggunakan mukena saja tanpa berpakaian didalamnya,dan mukera tersebut sudah mencakup persyaratan bahan penutup aurat maka sah sholatnya.Namun alangkah lebih baik lagi jika menggunakan pakaian yang lebih baik terlebih dahulu.
و الثالث ستر العورة بجرم طاهر يمنع رؤية لون البشرة بان لا يعرف بياضها من نحو سوادها في مجلس التخاطب لقادر عليه ولو باعارة او اجارة. وان صلى فى خلوة و لة فى ظلمة و الواجب سترها من اعلى وجوانب     كاشفة السجا ٤٩

Syarat yang ke-3 adalah menutup aurat dengan barang yang suci yang mampu mencegah terlihatnya warna kulit hal ini berlaku bagi orang yang mampu menutupinya walau dengan jalan meminjam atau menyewa.Menutup aurat ini wajib dilakukan mesti dalam kesendirian dan keadaan yang gelap gulita sekalipun. Aurat yang wajib tertutup adalah dari arah atas dan samping. [ Kasifatus sajaa' 49 ]. Wallohu a'lam. [Abdurrahman As-syafi'i].
Read More --►

Hukum Arisan Dalam Islam, Halal Atau Haram?


Telah lama beredar di tengah masyarakat yang namanya arisan. Namun beberapa tahun ini berkembang di tengah masyarakat beraneka macam arisan, mulai dari arisan haji, arisan motor, arisan lebaran, arisan semen, arisan gula dan lain-lain.

Bagaimanakah sebenarnya hukum arisan dalam Islam, karena ada beberapa yang bahkan mengharamkannya. Apakah semua bentuk arisan itu dibolehkan atau ada syarat syarat khususnya?

Pengertian Arisan

Dalam beberapa kamus dijelaskan bahwa arisan artinya pengumpulan uang atau barang yang mempunyai nilai sama oleh beberapa orang, kemudian diundi diantara mereka sendiri. Undian tersebut dilakukan secara berkala hingga semua anggota memperolehnya.

Hukum Arisan Secara Umum

Secara umum arisan termasuk muamalat yang belum pernah disinggung dalam Al Quran dan as Sunnah secara langsung, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal muamalah, yakni boleh-boleh saja. Para ulama menyebutkan hal tersebut dengan mengemukakan kaedah fikih yang bunyinya:

الأصل في العقود والمعاملات الحل و الجواز

“Pada dasarnya hukum transaksi dan muamalah itu adalah halal dan boleh.” ( Sa’dudin Muhammad al Kibyi, al Muamalah al Maliyah al Mua’shirah fi Dhaui al Islam, Beirut, 2002, hlm: 75 )
Berkata Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ al Fatawa (29/18)

“Tidak boleh mengharamkan muamalah yang dibutuhkan manusia sekarang, kecuali kalau ada dalil dari Al Quran dan Sunnah tentang pengharamannya.”
Para ulama tersebut berdalil dengan Al Quran dan Sunnah sebagai berikut:

Pertama: Firman Allah SWT,

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً

“Dialah Zat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya.” (QS. Al Baqarah: 29)
Kedua: Firman Allah SWT:

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً

“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmatNya yang nampak maupun yang tidak nampak.” (Qs Luqman: 20)
Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT memberikan semua yang ada di muka bumi ini untuk kepentingan manusia, para ulama menyebutnya dengan istilah al imtinan ( pemberian ). Oleh karenanya, segala sesuatu yang berhubungan dengan muamalat pada asalnya hukumnya adalah mubah kecuali ada dalil yang menyebutkan tentang keharamannya (Al Qurtubi, al Jami’ li Ahkam Al Quran, Beirut, Dar al Kutub Al Ilmiyah, 1993: 1/174-175 ). Dalam masalah ” arisan ” tidak kita dapatkan dalil baik dari Al Quran maupun dari as Sunnah yang melarangnya, berarti hukumnya mubah atau boleh.

Ketiga: Hadits Abu Darda’ ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

ما أحل الله في كتابه فهو حلال وما حرم فهو حرام وما سكت عنه فهو عفو فاقبلوا من الله عافيته فإن الله لم يكن لينسى شيئاً وتلا قوله تعالى:( وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا ) سورة مريم الآية 64

“Apa yang dihalalkan Allah di dalam kitab-Nya, maka hukumnya halal, dan apa yang diharamkannya, maka hukumnya haram. Adapun sesuatu yang tidak dibicarakannya, maka dianggap sesuatu pemberian, maka terimalah pemberiannya, karena Allah tidaklah lupa terhadap sesuatu.

Kemudian beliau membaca firman Allah SWT (Dan tidaklah sekali-kali Rabb-mu itu lupa)-Qs Maryam: 64-” (HR al Hakim, dan beliau mengatakan shahih isnadnya, dan disetujui oleh Imam Adz Dzahabi)
Hadits di atas dengan jelas menyebutkan bahwa sesuatu ( dalam muamalah ) yang belum pernah disinggung oleh Al Quran dan Sunnah hukumnya adalah ” afwun ” ( pemberian ) dari Allah atau sesuatu yang boleh.


Keempat: Firman Allah SWT:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

” Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran . ” ( Qs Al Maidah: 2 )
Ayat di atas memerintahkan kita untuk saling menolong dalam kebaikan, sedangkan tujuan “arisan” itu sendiri adalah menolong orang yang membutuhkan dengan cara iuran rutin dan bergiliran untuk mendapatkannya, maka termasuk dalam kategori tolong menolong yang tidak melanggar perintah Allah SWT.

Kelima: Hadit Aisyah ra, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَطَارَتْ الْقُرْعَةُ عَلَى عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ فَخَرَجَتَا مَعَهُ جَمِيعًا

” Rasullulah SAW apabila pergi, beliau mengadakan undian di antara istri-istrinya, lalu jatuhlah undian itu pada Aisyah dan Hafsah, maka kami pun bersama beliau.” ( HR Muslim, no: 4477)
Hadits diatas menunjukkan boleh untuk melakukan undian, tentunya yang tidak mengandung riba dan perjudian. Dalam arisan juga terdapat undian yang tidak mengandung perjudian juga riba, maka hukumnya boleh.

Keenam: Pendapat para ulama tentang arisan, diantaranya adalah pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin dan Sheikh Ibnu Jibrin serta mayoritas ulama-ulama senior. ( Dr. Khalid bin Ali Al Mushayqih, al Mua’amalah al Maliyah al Mu’ashirah ( Fikh Muamalat Masa Kini ), hlm: 69 )

Syekh Ibnu Utsaimin berkata:

“Arisan hukumnya adalah boleh, tidak terlarang. Barangsiapa mengira bahwa arisan termasuk kategori memberikan pinjaman dengan mengambil manfaat maka anggapan tersebut adalah keliru, sebab semua anggota arisan akan mendapatkan bagiannya sesuai dengan gilirannya masing-masing”. (Syarh Riyadhus Sholihin, Ibnu Utsaimin: 1/838)
Jadi hukum arisan secara umum, yaitu boleh. Akan tetapi meskipun begitu, ada sebagian bentuk arisan yang diharamkan dalam Islam, disebabkan mengandung riba, penipuan dan merugikan pihak lain.

Macam-Macam Arisan


Arisan yang berkembang di tengah masyarakat banyak macamnya, diantaranya adalah arisan haji, arisan motor, arisan lebaran, arisan semen, arisan gula, arisan berantai dan lain-lain. Berikut kita contohkan salah satu arisan yang diharamkan dalam islam

Arisan Motor Dengan Sistem Lelang

Maksud dari arisan sepeda motor dengan sistem lelang yakni pemenang arisan adalah yang mengajukan harga tertinggi. Adapun kelebihan harga lelang dari harga asli sepeda motor disimpan oleh penyelenggara nanitnya diberikan lagi ke peserta arisan dengan cara dibelikan sepeda motor lagi. Sehingga arisan yang asalnya selesai 20 kali pembayaran, bisa selesai lebih cepat, dikarenakan adanya uang kelebihan.

Semisal arisan motor yang diselenggaran oleh salah satu lembaga dengan standar harga yang mengacu kepada “Supra X” yaitu Rp.13.635.000. Peserta diwajibkan menyetor Rp.250.000 setiap bulannya selama 48 kali. Dengan setoran senilai itu panitia arisan masih mengiming-imingi beberapa hadiah.

Sehingga kalau ditotal setiap peserta akan menyetor Rp.250.000 x 48 = Rp.12.000.000. Untuk mendapatkan motor tersebut, peserta diwajibkan lagi membayar lelang minimal Rp.3.500.000 sehingga jumlah total yang harus dibayar peserta adalah Rp.15.500.000.

Itu artinya selisisih harga lelang dengan harga asli adalah sebesar Rp.1.865.000. Peserta yang ingin mendapatkan motor cepat, maka harga lelangnya harus lebih tinggi dari itu.

Bentuk arisan di atas hukumnya haram, karena ada beberapa anggota yang membayar lebih banyak dari anggota yang lain, sedang arisan itu identik dengan hutang, sehingga kelebihan pembayaran dimasukan dalam kategori riba yang diharamkan. Selain itu terdapat unsur mengambil harta orang lain tanpa hak, jika panitia mengambil keuntungan dari discount pembelian dari setiap motor yang dibelinya, sedangkan itu adalah haknya para peserta.

Wallahu A’lam.


Read More --►

Tuesday, January 15, 2019

Hukum Wanita Memandang Laki-Laki



Di antara hal yang telah disepakati ialah bahwa melihat kepada aurat itu hukumnya haram, baik dengan syahwat maupun tidak, kecuali jika hal itu terjadi secara tiba-tiba,  tanpa sengaja.


Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits sahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, “Saya bertanya kepada Nabi SAW tentang memandang (aurat orang lain) secara tiba-tiba (tidak disengaja). Lalu beliau bersabda, ‘Palingkanlah pandanganmu.” (HR Muslim)

Lantas, apakah aurat laki-laki itu? Bagian mana saja yang disebut aurat laki-laki? Kemaluan adalah aurat mughalladzah (besar/berat) yang telah disepakati akan keharaman membukanya di hadapan orang lain dan haram pula melihatnya, kecuali dalam kondisi darurat seperti berobat dan sebagainya. Bahkan kalau aurat ini ditutup dengan pakaian tetapi tipis atau menampakkan bentuknya, maka ia juga terlarang menurut syara’.

Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa paha laki-laki termasuk aurat, dan aurat laki-laki ialah antara pusar dengan lutut. Mereka mengemukakan beberapa dalil dengan hadits-hadits yang tidak lepas dari cacat. Sebagian mereka menghasankannya dan sebagian lagi mengesahkannya karena banyak jalannya, walaupun masing-masing hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum syara’.

Sebagian fuqaha lagi berpendapat bahwa paha laki-laki itu bukan aurat, dengan berdalilkan hadits Anas bahwa Rasulullah SAW pernah membuka pahanya dalam beberapa kesempatan. Pendapat ini didukung oleh Muhammad Ibnu Hazm.

Menurut mazhab Maliki sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab mereka bahwa aurat mughalladzah laki-laki ialah qubul (kemaluan) dan dubur saja, dan aurat ini bila dibuka dengan sengaja membatalkan shalat.

Dalam hal ini terdapat rukhshah (keringanan) bagi para olahragawan dan sebagainya yang biasa mengenakan celana pendek, termasuk bagi penontonnya, begitu juga bagi para pandu (pramuka) dan pecinta alam. Meskipun demikian, kaum Muslimin berkewajiban menunjukkan kepada peraturan internasional tentang ciri khas kostum umat Islam dan apa yang dituntut oleh nilai-nilai agama semampu mungkin.

Perlu diingat bahwa aurat laki-laki itu haram dilihat, baik oleh perempuan maupun sesama laki-laki. Ini merupakan masalah yang sangat jelas. Adapun terhadap bagian tubuh yang tidak termasuk aurat laki-laki, seperti  wajah, rambut, lengan, bahu, betis, dan sebagainya, menurut pendapat yang sahih boleh dilihat, selama tidak disertai syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha umat, dan ini diperlihatkan oleh praktek kaum muslim sejak zaman Nabi dan generasi sesudahnya, juga diperkuat oleh beberapa hadits sharih (jelas) dan tidak bisa dicela.

Adapun masalah wanita melihat laki-laki, maka dalam hal ini terdapat dua riwayat. Pertama, ia boleh melihat laki-laki asal tidak pada auratnya. Kedua, ia tidak boleh melihat laki-laki melainkan hanya bagian tubuh yang laki-laki boleh melihatnya. Pendapat ini yang dipilih oleh Abu Bakar dan merupakan salah satu pendapat di antara dua pendapat Imam Syafi’i.

Hal ini didasarkan pada riwayat Az-Zuhri dari Ummu Salamah, yang berkata, “Aku  pernah duduk di sebelah Nabi SAW, tiba-tiba Ibnu Ummi Maktum meminta izin masuk. Kemudian Nabi saw bersabda, ‘Berhijablah kamu daripadanya. ‘Aku berkata, wahai Rasulullah, dia itu tuna netra.’ Beliau menjawab dengan nada bertanya, ‘Apakah  kamu berdua (Ummu Salamah dan Maimunah) juga buta dan tidak melihatnya?” (HR Abu Daud dan lain-lain)

Larangan bagi wanita untuk melihat aurat laki-laki didasarkan pada hipotesis bahwa Allah menyuruh wanita menundukkan pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki berbuat begitu. Juga didasarkan pada hipotesis bahwa wanita itu adalah salah satu dari dua jenis anak Adam (manusia), sehingga mereka haram melihat (aurat) lawan jenisnya. Haramnya bagi wanita ini dikiaskan pada laki-laki (yang diharamkan melihat kepada lawan jenisnya).

Alasan utama diharamkannya melihat itu karena dikhawatirkan terjadinya fitnah. Bahkan kekhawatiran ini pada wanita lebih besar lagi, sebab wanita itu lebih besar syahwatnya dan lebih sedikit (pertimbangan) akalnya.

Nabi SAW bersabda kepada Fatimah binti Qais, “Beriddahlah engkau di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena dia seorang tuna netra, engkau dapat melepas pakaianmu sedangkan dia tidak melihatmu.” (Muttafaq alaih)

Aisyah berkata, “Adalah Rasulullah SAW melindungiku dengan selendangnya ketika aku melihat orang-orang Habsyi sedang bernain-main (olahraga) dalam masjid.” (Muttafaq alaih)

Dalam riwayat lain disebutkan, pada waktu Rasulullah SAW selesai berkhutbah shalat Id, beliau menuju kepada kaum wanita dengan disertai Bilal untuk memberi peringatan kepada mereka, lalu beliau menyuruh mereka bersedekah.

Seandainya wanita dilarang melihat laki-laki, niscaya laki-laki juga diwajibkan berhijab sebagaimana wanita diwajibkan berhijab, supaya mereka tidak dapat melihat laki-laki.

Jadi, memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak dibarengi dengan upaya “menikmati” dan bersyahwat. Jika dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya haram. Oleh sebab itu, Allah menyuruh kaum mukminah menundukkan sebagian pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan sebagian pandangannya.

Firman Allah: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.” (QS An-Nur: 30-31)

Memang benar bahwa wanita dapat membangkitkan syahwat laki-laki lebih banyak daripada laki-laki membangkitkan syahwat wanita, dan memang benar bahwa wanita lebih banyak menarik laki-laki, serta wanitalah yang biasanya dicari laki-laki. Namun semua ini tidak menutup kemungkinan bahwa di antara laki-laki ada yang menarik pandangan dan hati wanita karena kegagahan, ketampanan, keperkasaan, dan kelelakiannya, atau karena faktor-faktor lain yang menarik pandangan dan hati perempuan.

Al-Qur’an telah menceritakan kepada kita kisah istri pembesar Mesir dengan pemuda pembantunya, Yusuf, yang telah membuatnya dimabuk cinta. Lihatlah, bagaimana wanita itu mengejar-ngejar Yusuf, dan bukan sebaliknya, serta bagaimana dia menggoda Yusuf untuk menundukkannya seraya berkata, “Marilah ke sini.” Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah.” (QS An-Nur: 23)

Apabila seorang wanita melihat laki-laki lantas timbul hasrat kewanitaannya, hendaklah ia menundukkan pandangannya. Janganlah ia terus memandangnya, demi  menjauhi timbulnya fitnah, dan bahaya itu akan bertambah besar lagi bila si laki-laki juga memandangnya dengan rasa cinta dan syahwat.

Akhirnya, untuk mendapat keselamatan, lebih baik kita menjauhi tempat-tempat dan hal-hal yang mendatangkan keburukan dan bahaya. Kita memohon kepada Allah  keselamatan dalam urusan agama dan dunia. Amin.

Sumber: Fatwa-Fatwa Kontemporer, Dr. Yusuf Qaradhawi
Read More --►

Monday, January 14, 2019

Bagaimana Pandangan Islam Mengenai Copy - Paste ?


Secara hakiki, segala yang diam dan bergerak di muka bumi baik daratan maupun lautan memang milik Allah swt. Kalau secara hakiki, hal ini diterapkan dalam keseharian, kehidupan akan mendadak chaos karena siapa saja merasa menjadi Khalifatullah. Namun, secara majazi hak milik Allah bisa diidhofahkan (ditujukan) kepada siapa saja agar kehidupan jadi terang dan terus berjalan.

Allah sendiri mengakui adanya hak milik (haqqul milk) dan hak guna (haqqul intifa’) hamba-Nya. Dengan hak milik dan hak guna ini, setiap makhluk bisa bergerak secara fungsional, tidak bebas semaunya. Lalu bagaimana dengan hukum plagiat atau copy paste menurut fiqih?

Kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan plagiat sebagai “Pengambilan karangan (pendapat dan lain-lain) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan lain-lain) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis atau artikel orang lain atas nama dirinya sendiri (jiplakan).”

Lembaga Fatwa Mesir, Darul Ifta Al-Mishriyyah melansir keterangan tentang hukum plagiat atau copy paste karya orang lain berikut ini :

حقوق التأليف والاختراع أو الابتكار مصونة شرعا، ولأصحابها حق التصرف فيها، ولا يجوز الاعتداء عليها والله أعلم. وبناء على ذلك: فإن انتحال الحقوق الفكرية والعلامات التجارية المسجلة لأصحابها بطريقة يفهم بها المنتحل الناس أنها العلامة الأصلية هو أمر محرم شرعا يدخل في باب الكذب والغش والتدليس، وفيه تضييع لحقوق الناس وأكل لأموالهم بالباطل

“Hak karya tulis dan karya-karya kreatif, dilindungi secara syara’. Pemiliknya mempunyai hak pendayagunaan karya-karya tersebut. Siapa pun tidak boleh berlaku zalim (aniaya) terhadap hak mereka. Berdasarkan pendapat ini, kejahatan plagiasi atau copy paste terhadap hak intelektual dan hak merk dagang yang ter-registrasi dengan cara mengakui karya tersebut di hadapan publik, merupakan tindakan yang diharamkan syara’. Kasus ini masuk dalam larangan dusta, pemalsuan, penggelapan. Pada kasus ini, terdapat praktek penelantaran terhadap hak orang lain; dan praktik memakan harta orang lain dengan cara batil.”

Melihat dari keterangan di atas, sudah semestinya setiap orang mengapresiasi karya orang lain dan menghargainya dengan tidak melakukan plagiasi. Setidaknya kalau tidak bisa izin, menyebutkan sumber lengkapnya dengan nama pembuat atau situsnya kalau mau mengutip semisal karya apa saja mulai dari seni rupa, seni tari, seni musik, sastra, karya jurnalistik, artikel ataupun hasil karya lainnya. Wallahu A’lam.

Sumber : www.nu.or.id
                 www.talimulquranalasror.blogspot.com

Read More --►

Hukum Wanita Memakai Celana Panjang



Benarkah wanita dilarang memakai celana panjang tanpa memakai rok?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Allah membedakan antara lelaki dan wanita. Allah menegaskan,

وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى

“Lelaki itu tidak seperti wanita.” (QS. Ali Imran: 36)

Apa yang dinyatakan oleh Allah, itu yang sesuai keadilan dan sejalan dengan kodrat manusia. Karena itu, menyamakan antara lelaki dan wanita adalah kedzaliman dan menyimpang dari fitrah.

Diantara perbedaan itu adalah perbedaan dalam berpakaian. Pakaian lelaki berbeda dengan pakaian wanita. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat lelaki yang memakai pakaian wanita dan sebaliknya.

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu  mengatakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَعَنَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لُبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لُبْسَةَ الرَّجُلِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  melaknat laki-laki yang berpakaian wanita dan wanita yang berpakaian laki-laki.” (HR. Ahmad 8309 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Disamping itu, pakaian wanita sama sekali tidak boleh menampakkan lekuk tubuh. Tak terkecuali bagian kaki. Sehingga harus ditutupi dengan rok atau semacamnya.

Sahabat Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhuma bercerita,

كَسَانِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُبْطِيَّةً كَثِيفَةً كَانَتْ مِمَّا أَهْدَاهَا دِحْيَةُ الْكَلْبِيُّ، فَكَسَوْتُهَا امْرَأَتِي، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَا لَكَ لَمْ تَلْبَسِ الْقُبْطِيَّةَ؟ ” قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، كَسَوْتُهَا امْرَأَتِي. فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مُرْهَا فَلْتَجْعَلْ تَحْتَهَا غِلَالَةً، إِنِّي أَخَافُ أَنْ تَصِفَ حَجْمَ عِظَامِهَا

“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam  pernah memberiku baju Quthbiyyah yang tebal. Baju tersebut dulu dihadiahkan oleh Dihyah Al Kalbi kepada beliau. Lalu aku berikan baju itu kepada istriku. Suatu ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menanyakanku, ‘Kenapa baju Quthbiyyah-nya tidak engkau pakai?’. Kujawab, ‘Baju tersebut aku berikan kepada istriku, wahai Rasulullah’. Beliau berkata, ‘Suruh dia memakai baju rangkap di dalamnya karena aku khawatir Quthbiyyah itu menggambarkan lekuk tubuhnya’.” (HR. Ahmad 21786 dinyatakan Syuaib al-Arnauth – bisa dinilai hasan).

Qubthiyah istilah untuk menyebut produk asal qibthi, penduduk mesir.

Dalam hadis di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan Usamah bin Zaid ketika dia memberikan kain itu ke istrinya. Karena beliau memahami, kain itu jika dipakai wanita, bisa menampakkan lekuk tubuhnya.

Berdasarkan keterangan di atas, para ulama melarang wanita memakai celana tanpa ditutupi kain.

Syaikh Dr. Abdullah bin Jibrin pernah ditanya tentang hukum wanita memakai celana.

Jawaban beliau,

لا يجوز للمرأة عند غير زوجها مثل هذا اللباس لأنه يبين تفاصيل جسمها، والمرأة مأمورة أن تلبس ما يستر جميع بدنها لأنها فتنة وكل شيء يبين من جسمها يحرم إبداؤه عند الرجال أو النساء والمحارم وغيرهم إلا الزوج يحل له النظر إلى جميع بدن زوجته، فلا بأس أن تلبس عنده الرقيق أو الضيق ونحوه والله أعلم.

“Tidak boleh bagi wanita menggunakan pakaian semisal itu di hadapan lelaki yang bukan suaminya. Karena pakaian yang demikian dapat menggambarkan bentuk-bentuk tubuhnya. Dan wanita diperintahkan untuk menutup seluruh tubuhnya, karena dia adalah fitnah (godaan). Dan semua pakaian yang dapat menggambarkan bentuk tubuh wanita tidak boleh dipakai di hadapan para lelaki, atau para wanita, atau para mahram dan yang selain mereka. Kecuali suami, ia boleh melihat istrinya pada seluruh tubuhnya. Maka di hadapan suami boleh menggunakan pakaian yang ketat atau semisalnya. Wallahu a’lam.”

(Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, 101/4)

Jika wanita memakai celana namun tidak ditutupi dengan pakaian luaran, tidak diperbolehkan. Tapi jika memakai celana panjang hanya untuk daleman dan akan ditutupi pakaian yang lain, tidak ada masalah.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Read More --►

Amalan Yang Pahalanya Terus Mengalir Setelah Kematian



Amalan Yang Pahalanya Terus Mengalir Setelah Kematian

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Allah tidak hanya mencatat amal perbuatan yang kita lakukan, namun Allah juga mencatat semua pengaruh dari perilaku dan perbuatan kita. Allah berfirman,

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ

“Sesungguhnya Kami yang menghidupkan orang mati, Kami catat semua yang telah mereka lakukan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan semuanya kami kumpulkan dalam kitab (catatan amal) yang nyata.” (QS. Yasin: 12)

Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan dua tafsir ulama tentang makna kalimat, ‘bekas-bekas yang mereka tinggalkan’

Pertama, Jejak kaki mereka ketika melangkah menuju ketaatan atau maksiat

Ini merupakan pendapat Mujahid dan Qatadah sebagaimana yang iriwayatkan oleh Ibnu Abi Najih.

Diantara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ada Bani Salamah ingin berpindah membuat perkampungan yang dekat dengan masjid nabawi. Karena mereka terlalu jauh jika harus berangkat shalat jamaah setiap hari ke masjid nabawi. Ketika informasi ini sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,

يَا بَنِى سَلِمَةَ دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ

Wahai Bani Salamah, perjalanan dari rumah kalian ke masjid akan dicatat jejak-jejak kali kalian. (HR. Muslim 1551, dan Ahmad 14940)

Kedua, Pengaruh dari amal yang kita kerjakan

Artinya, Allah mencatat bentuk amal yang mereka kerjakan dan pengaruh dari amal itu. Jika baik, maka dicatat sebagai kebaikan. Dan jika buruk dicatat sebagai keburukan.

Ini seperti yang disebutkan dalam hadis dari sahabat Jarir bin Abdillah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Siapa yang menghidupkan sunah yang baik dalam Islam, kemudian diikuti oleh orang lain setelahnya maka dicatat untuknya mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Siapa yang menghidupkan tradisi yang jelek di tengah kaum muslimin, kemudian diikuti oleh orang lain setelahnya, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”  (HR. Muslim 2398, Ahmad 19674, dan yang lainnya)

Ayat di atas selayaknya memberikan motivasi bagi kita untuk semangat dalam menyebarkan kebaikan serta merasa takut ketika melakukan perbuatan yang mengundang orang lain untuk bermaksiat.

10 Amal Yang Tidak Terputus Pahalanya

Para penghuni kubur tergadai di kuburan mereka, terputus dari amalan shaleh, dan menunggu hari hisab yang tidak diketahui hasilnya. Mereka berada dalam kesepian, hanya ditemani amalnya ketika di dunia.

Dalam suasana demikian, ada beberapa orang yang kebaikannya terus mengalir.

Jasad mereka bersemayam dengan tenang di alam kubur, namun balasan pahala mereka tidak berhenti. Pahala mereka terus berdatangan, padahal mereka terdiam dalam kuburnya, menunggu datangnya kiamat. Sungguh masa pensiun yang sangat indah, yang tidak bisa terbeli dengan dunia seisinya.

Dalam hadis dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَبْعٌ يَجْرِيْ لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ وَهُوَ فِي قَبْرِهِ : مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا ، أَوْ أَجْرَى نَهْرًا ، أَوْ حَفَرَ بِئْرًا ، أَوَ غَرَسَ نَخْلًا ، أَوْ بَنَى مَسْجِدًا ، أَوْ وَرَثَ مُصْحَفًا ، أَوْ تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرُ لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ

“Ada tujuh amalan yang pahalanya tetap mengalir untuk seorang hamba setelah dia meninggal, padahal dia berada di dalam kuburnya: (1) orang yang mengajarkan ilmu agama, (2) orang yang mengalirkan sungai (yang mati) (3) orang yang membuat sumur, (4) orang yang menanam kurma, (5) orang yang membangun masjid, (6) orang yang memberi mushaf al-Quran, dan (7) orang yang meninggalkan seorang anak yang senantiasa memohonkan ampun untuknya setelah dia wafat.” (HR. al-Bazzar dalam Musnadnya 7289, al-Baihaqi dalam Syuabul Iman 3449, dan yang lainnya. Al-Albani menilai hadis ini hasan).

Sudah saatnya kita bersemangat menanam investasi pahala selama masih di duni. Karena masa hidup di dunia  adalah kesempatan yang Allah jadikan tempat beramal. Untuk masa yang leih abadi di setelah wafat.

Kita akan melihat lebihi dekat 7 amal yang dijanjikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Pertama, mengajarkan ilmu pengetahuan

Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu yang bermanfaat, yang mengantarkan seseorang mengenal agama dan Rabbnya. Ilmu yang menjadi petunjuk seseorang ke jalan yang lurus. Ilmu yang mengenalkan jalan hidayah dan jalan kesesatan. Ilmu yang mengajarkan mana yang haq dan mana yang batil. Mana yang halal dan mana yang haram.

Ini menunjukkan betapa mulianya kedudukan seorang ulama yang memberi nasihat kepada umat. Para dai yang ikhlas memberika pencerahan bagi umat. Hingga Imam Ahmad pernah memuji ulama seperti orang yang menghidupkan masyarakat yang telah mati hatinya. Dalam pengantar bukunya ar-Rad ala Jahmiyah,

الحمد لله الذي جعل في كل زمان فترة من الرسل بقايا من أهل العلم يدعون من ضل إلى الهدى ويصبرون منهم على الأذى يحيون بكتاب الله الموتى ويبصرون بنور الله أهل العمى فكم من قتيل لإبليس قد أحيوه وكم من ضال تائه قد هدوه فما أحسن أثرهم على الناس وأقبح أثر الناس عليهم

Segala puji bagi Allah yang menjadikan generasi ulama sebagai pejuang di masa fatrah dari para rasul. Mereka mengajak orang yang sesat menujuk jalan petunjuk, bersabar terhadap setiap gangguan dari masyarakat. Mereka menghidupkan manusia yang mati hatinya dengan kitabullah.. dan membuat bisa melihat orang yang orang buta agama dengan cahaya Allah. Betapa banyak korban Iblis yang dia hidupkan, dan betapa banyak orang sesat dalam kebodohan yang mereka tunjukkan jalan hidayah. Sungguh indah kiprah mereka di tengah masyarakat, namun sungguh buruk sikap masyarakat yang tidak memahami hak mereka kepada ulama. (ar-Rad ‘ala al-Jahmiyah, hlm. 6)

Ketika orang yang berilmu wafat, maka ilmu mereka pun tetap kekal di tengah-tengah masyarakat. Di saat jasad mereka tertanam di tanah kuburan, pahala mereka tetap bermunculan. Para ulama mengatakan,

يموت العالم ويبقى كتابه

“Saat ulama pergi, buku-buku mereka tetap kekal abadi.”

Apakah ini juga berlaku untuk ilmu dunia?

Pertanyaan ini pernah disampaikan kepada Imam Ibnu Utsaimin.

Jawaban beliau,

الظاهر أن الحديث عام ، كل علم ينتفع به فإنه يحصل له الأجر ، لكن على رأسها وقمتها العلم الشرعي ، فلو فرضنا أن الإنسان توفي وقد علم بعض الناس صنعة من الصنائع المباحة ، وانتفع بها هذا الذي تعلمها فإنه ينال الأجر ، ويؤجر على هذا

Secara teks hadis, ilmu disini sifatnya umum, semua ilmu yang bermanfaat, bisa mendatangkan pahala. Hanya saja, yang paling bermanfaat adalah ilmu syariah. Andai ada orang yang wafat, dan dulu dia pernah mengajarkan tentang ketrampilan yang mubah, dan itu bermanfaat bagi orang yang diajari, maka dia mendapatkan pahala dan juga diberi pahala untuk memberikan ilmu semacam ini. (Liqaat Bab al-Maftuh, 117/16).

Kedua, Mengalirkan sungai yang mati

Maksudnya adalah membuat aliran pada sungai yang tertahan airnya, agar air tersebut bisa mengalir ke tempat-tempat pemukiman masyarakat, sehingga orang lain bisa memanfaatkannya.

Betapa besar kebaikan dari amalan yang mulia ini, memudahkan manusia memperoleh air yang merupakan kebutuhan yang paling utama dalam kehidupan manusia.

Kata Syaikh Dr. Abdurrazaq, serupa dengan amalan ini adalah membangun penampungan air di tempat-tempat yang dibutuhkan manusia.

Ketiga, menggali sumur

Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَا رَجُلٌ بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ، ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ ، فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ مِنِّي ، فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَا خُفَّهُ مَاءً فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ ، قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّه وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ لَأَجْرًا ؟ فَقَالَ : فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

“Suatu ketika ada seorang lelaki yang merasakan sangat kehausan, lalu ia menjumpai sebuah sumur. Dipun turun, lalu meminum airnya. Setelah itu ia naik lagi. Sesampainya di atas, dia melihat seekor anjing yang menjulur-julurkan lidahnya memakan tanah yang lembab saking hausnya. Lelaki itu mengatakan, ‘Anjing ini pasti merasa sangat kehausan sebagaimana hausku tadi’.

Lalu ia kembali turun ke dalam sumur dan memenuhi sepatunya dengan air. Setelah itu ia beri minum anjing tersebut. (Oleh karena perbuatannya) Allah pun bersyukur kepadanya dan mengampuninya.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah perbuatan baik kita terhadap hewan mendapat ganjaran pahala?” Rasulullah menjawab, “Pada setiap Ya, pada setiap nyawa itu ada ganjaran pahala.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Jika hanya dengan memberi minum seekor anjing bisa menyebabkan semua dosanya terampuni, bagaimana pula dengan orang yang membuat sebuah sumur, yang bisa dimanfaatkan banyak orang?! Tentu pahalanya sangat besar.

Keempat, menanam pohon kurma.

Mengapa kurma?

Kurma adalah pohon yang paling utama dan paling bermanfaat untuk manusia, barangsiapa yang menanam kurma lalu membagikan buahnya kepada kaum muslimin, maka pahalanya akan ia dapatkan dari setiap butir kurma yang dimakan. Dan setiap orang ataupun hewan bisa memperoleh manfaat dari buah kurma.

Sama halnya dengan orang yang menanam pohon yang bermanfaat lainnya, baik bermanfaat karena buahnya atau bermanfaat karena teduhnya atau karena lainnya. Dia juga akan memperoleh pahala.

Dalam hadis ini disebutkan kurma, karenakan keutamaan dan keistimewaan kurma yang tidak dimiliki pohon lainnya.

Kelima, membangun masjid.

Masjid adalah tempat yang paling dicintai Allah.

Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang membangun sebuah masjid karena mengharap wajah Allah, maka Allah akan bangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga.”  (Muttafaqun ‘alaihi)

Keenam, menghadiahkan mushaf al-Quran

Menghadiahkan al-Quran berarti memberi fasilitas orang lain untuk bisa mendapatkan pahala sebanyak huruf yang dibaca dalam al-Quran. Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا

Siapa yang membaca satu huruf dalam al-Quran maka dia mendapatkan satu pahala. Dan satu pahala dilipatkan 10 kali. (HR. Turmudzi 3158).

Terutama ketika hadiah al-Quran itu tepat sasaran. Benar-benar diberikan kepada mereka yang rajin membaca al-Quran atau mereka yang menghafalkan al-Quran. Sangat disayangkan, jika al-Quran yang kita berikan itu salah sasaran. Diterima oleh mereka yang jarang membaca al-Quran, kecuali di bulan ramadhan.

Ketujuh, anak soleh

Anak soleh, harta yang paling tidak ternilai.

Ketika orang tua mendidik anaknya, maka dia akan mendapatkan pahala dari amal soleh yang dilakukan anaknya. Karena setiap orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain, dia akan mendapatkan pahala selama orang itu mengamalkan ilmunya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

Siapa yang mengajak ke jalan petunjuk, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sebaliknya siapa yang mengajak kepada kesesatan maka dia mendapat dosa seperti dosa orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HR. Muslim 2674).

Sehingga tidak semua orang tua mendapatkan pahala dari amal anaknya. Kecuali jika orang tua yang mengajarkan kebaikan atau mengarahkan anak itu untuk belajar kebaikan.

Syaikhul Islam mengatakan,

النبي صلى الله عليه وسلم لم يجعل للأب مثل عمل جميع ابنه ، ولا نعلم دليلا على ذلك ، وإنما جعل ما يدعوه الابن له من عمله الذي لا ينقطع

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menjadikan pahala untuk bapak sama dengan pahala amal anaknya. Kami tidak mengetahui adanya dalil tentang itu. Namun beliau jadikan ajakan kebaikan kepada anaknya, bagian dari amal orang tuanya, yang tidak akan terputus. (Jami’ul Masail Ibnu Taimiyah, 4/266).

Hadis Kedua

Kemudian hadis kedua, hadis  dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ ، وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ ، وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ ، أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ ، أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ ، أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ ، أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

Diantara pahala amal mukmin yang akan tetap mengalir setelah kematiannya adalah ilmu yang dia sebarkan, anak soleh yang dia tinggalkan, mushaf yang dia wariskan, masjid yang dia bangun, rumah untuk Ibnu Sabil (orang yang di perjalanan), atau sungai yang dia alirkan, sedekah hartanya yang dia keluarkan ketika masih sehat dan kuat, yang masih dimanfaatkan setelah dia meninggal. (HR. Ibnu Majah 249 dan dihasankan al-Albani)

Sabda beliau “atau sebuah rumah yang dibangun untuk para musafir” ini menjelaskan tentang keutamaan membangun rumah yang diwakafkan untuk kepentingan umat Islam, baik itu untuk musafir, atau untuk penuntut ilmu, atau untuk anak yatim, atau untuk para janda, dan fakir miskin.

Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,

إِذَا مَاتَ ابن آدم الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثلاث ثَلَاثَةٍ : إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila anak Adam meninggal, maka terputus darinya semua amalan kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim 4310)

Para ulama menafsirkan sedekah jariyah dengan wakaf, karena fisiknya tetap dan manfaatnya berkelanjutan.

Al-Khatib as-Syarbini – ulama syafiiyah – (w. 977 H). Dalam Mughni al-Muhtaj, beliau mengatakan,

الصدقة الجارية محمولة عند العلماء على الوقف كما قاله الرافعي ، فإن غيره من الصدقات ليست جارية

“Sedekah jariyah dipahami sebagai wakaf menurut para ulama, sebagaimana keterangan ar-Rafi’i. Karena sedekah lainnya bukan sedekah jariyah.” (Mughni al-Muhtaj, 3/522).

Diantara semangat beramal para sahabat, mereka yang mampu, semuanya pernah wakaf.

Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma menuturkan,

لَـمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِـيِّ صَلّى اللهُ عليهِ وسَلّم ذُو مَقدِرَة إِلّا وَقَفَ

Tidak ada seorangpun sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki kemampuan, kecuali mereka wakaf. (Ahkam al-Auqaf, Abu Bakr al-Khasshaf, no. 15 dan disebutkan dalam Irwa’ al-Ghalil, 6/29).

Selain beberapa amalan yang di atas, masih ada amalan lainnya yang pahalanya tetap mengalir ketika pelakunya sudah meninggal. Amalan tersebut adalah berjihad di jalan Allah, menghadang musuh dan melindungi kaum muslimin.

Dari Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhu,  bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ

“Berjaga di daerah perbatasan sehari semalam, lebih baik dari pada puasa dan tahajud selama satu bulan. Apabila ia wafat dalam perang tersebut, pahala dari amalnya ini tetap mengalir, demikian juga rezekinya, dan dia aman dari fitnah.” (HR. Muslim 5047).

Allahu a’lam

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Read More --►

Hukum Mewarnai Rambut Sebelum Beruban


Mewarnai Rambut Sebelum Beruban?

Bismillah, bagaimana hukum mewarnai rambut bagi orang yang tidak beruban? Apakah hal tersebut dilarang? Jazakallahu khoir.

Dari Umi Nur

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Larangan mewarnai rambut yang disebutkan dalam hadis adalah menyemir dengan warna hitam.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِى آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لاَ يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

Akan ada sekelompok kaum di akhir zaman, yang mereka menyemir rambutnya dengan warna hitam. Seperti bulu tembolok merpati. Mereka tidak mendapatkan bau surga. (HR. Abu Daud 4214 dan dishahihkan al-Albani)

Dalam alah satu fatwanya, Lajnah Daimah menjelaskan tentang hukum menyemir rambut bagi anak muda, sekalipun belum beruban.

تغيير الشعر بغير السواد لا حرج فيه ، وكذلك استعمال مواد لتنعيم الشعر المجعد ، والحكم للشباب والشيوخ في ذلك سواء

Mengubah warna rambut dengan selain hitam, dibolehkan. Demikian pula menggunakan obat untuk meluruskan rambut yang terlalu keriting ikal. Hukum bagi anak muda maupun orang tua sama. (Fatwa Lajnah, 5/168)

Untuk itu, bukan merupakan syarat dalam menggunakan semir rambut, harus beruban terlebih dahulu.

Jangan Sampai Tasyabuh Dengan Orang Fasik

Hanya saja yang perlu dicatat satu kaidah dalam masalah berhias dan dandan, tidak boleh meniru kebiasaan orang kafir, atau orang fasik. Karena ini dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

من تشبّه بقوم فهو منهم

Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum, maka dia bagian dari kaum itu. (HR. Abu Daud 4031 dan dishahihkan al-Albani).

Karena itu, sebelum menyemir rambut, perlu diperhatikan kondisi orang yang rambutnya disemir. Jika mayoritas orang tidak baik, maka kaum muslimin tidak boleh menirunya. Apalagi sebagian masyakarat menganggap bahwa rambut disemir pirang atau coklat, ciri khas orang yang tidak soleh. Karena ini identitas anak-anak gang jalanan.

Meskipun bisa jadi ini boleh untuk wanita, dalam rangka tampil indah di depan suaminya. Tidak dihukumi tasyabuh, karena tidak nampak di luar.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Read More --►

Setiap Malam Jumat, Ruh Orang Meninggal Selalu Kembali?



KETIKA seseorang telah kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ruhnya akan berpisah dengan jasadnya. Dengan begitu, segala urusan dunia akan terhenti. Ia tak bisa lagi memperbanyak amalannya. Ia hanya tinggal menunggu datangnya waktu pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan selama masa hidup di dunia.

Namun ada kalanya ruh-ruh orang meninggal akan kembali ke rumah. Menurut hadis Nabi Muhammad ﷺ, ruh-ruh ini turun ke langit dunia dan berhenti di rumah keluarganya setiap malam Jumat. Di sana ruh meminta belas kasihan keluarga yang masih hidup di dunia agar mengirim doa dan ayat-ayat Al-Quran. Hanya inilah satu-satunya bekal tambahan ruh tersebut untuk menjalani kehidupan di alam barzah.

Dalam hadis Rasulullah yang tercatat dalam kitab Hadiyatul karya Abul Hasan Ali bin Ahmad bin Yusuf bin Ja’far Al-Hakkari menceritakan tentang bagaimana kondisi arwah-arwah ini ketika mendatangi rumahnya dan dan menjenguk keluarganya. Masing-masing mereka memanggil-manggil hingga 1000 kali dengan suara yang memelas dan meminta belas kasihan dari keluarganya yang masih hidup. Meski mereka sudah tiada, ternyata masih membutuhkan kasih sayang kita agar mau mengingat dan mendoakannya.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya ruh-ruh orang mukmin datang setiap malam jumat pada langit dunia. Lalu mereka berdiri di depan pintu-pintu rumah mereka. Masing-masing mereka memanggil-manggil dengan suara yang memelas, ‘Wahai istriku (suamiku), anakku, keluargaku, dan kerabatku! Sayangilah kami dengan sesuatu, maka Allah akan merahmati kalian. Ingatlah kami, jangan kalian lupakan! Sayangilah kami dalam keterasingan kami, minimnya kemampuan kami dan segala apa yang kami berada di dalamnya. Sesungguhnya kami berada dalam tempat yang terpencil, kesusahan yang yang panjang dan duka yang dalam. Sayangilah kami, maka Allah akan menyayangi kalian. Jangan kalian kikir kepada kami dengan memberikan doa, shadaqah dan tasbih. Semoga Allah memberikan rasa nyaman kepada kami, sebelum kalian sama seperti kami. Sungguh rugi! Sungguh menyesal! Wahai hamba Allah! Dengarkanlah ucapan kami, dan jangan lupakan kami. Kalian tahu bahwa keutamaan yang berada di tangan kalian sekarang adalah keutamaan yang sebelumnya milik kami. Sementara kami tidak menafkahkannya untuk taat kepada Allah. Kami tidak mau terhadap kebenaran, hingga ia menjadi musibah bagi kami. Manfaatnya diberikan kepada orang lain, sementara pertanggungjawaban dan siksanya diberikan kepada kami’.”

Rasulullah ketika menyampaikan hadis ini menangis sehingga membuat sahabat-sahabatnya ikut menangis. Dia hanya mengatakan bahwa ruh-ruh tersebut adalah saudara-saudara yang sebelumnya menikmati keindahan dunia. Saat sudah meninggal, mereka hanya menjadi debu padahal semasa hidupnya penuh dengan kenikmatan dan kegembiraan.

Dalam sebuah hadis lain, Nabi ﷺ juga berkata bahwa tidak ada seorang mayit di kuburannya kecuali seperti orang yang tenggelam yang minta pertolongan. Dia menanti kiriman doa dari anaknya, saudaranya atau temannya. Ketika ia mendapatkannya maka ia sungguh bahagia mengalahkan kebahagiaan dunia seisinya. Namun, jika arwah-arwah tersebut tidak memperoleh apa-apa, maka arwah-arwah tersebut memperoleh kerugian dan kembali dengan berduka.

Berdasar hadis tersebut di atas dan berdasar pernyataan dari kalangan Ulama’ di berbagai literatur dari kitab-kitab klasik yang mu’tabar di antaranya Imam Abu Bakar Ibnu Sayyid Muhammad Syata Al-Dimyati di dalam Kitab karyanya I’anah Al-Thalibin, Imam Al-Qurthubi dan Ulama’-Ulama’ yang lain bahwa kepulangan arwah orang-orang mu’min pada hari-hari tertentu seperti yang diyakini oleh kalangan ahlus sunnah wal jama’ah adalah benar dan tidak diragukan lagi.

Wallahu a’lam bis shawab.
Read More --►

Sunday, January 13, 2019

Bolehkah Memotong Kuku atau Rambut ketika Haid?



Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum ....

Apakah boleh memotong kuku atau rambut pada saat haid? Apakah hadist atau ayat yg menyangkut masalah ini?
makasih wassalam..

Jawaban:

Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullah…

Tidak terdapat riwayat yang melarang wanita haid untuk memotong kuku maupun rambut. Demikian pula, tidak terdapat riwayat yang memerintahkan agar rambut wanita haid yang rontok utnku di cuci bersamaan dengan mandi paska haid. Bahkan sebaliknya, terdapat riwayat yang membolehkan wanita haid untuk menyisir rambutnya. Padahal, tidak mungkin ketika wanita yang menyisir rambutnya, tidak ada bagian rambut yang rontok. Disebutkan dalam hadis dari A’isyah, bahwa ketika Aisyah mengikuti haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesampainya di Mekkah beliau mengalami haid. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

…..دعي عمرتك وانقضي رأسك وامتشطي

“Tinggalkan umrahmu, lepas ikatan rambutmu dan ber-sisir-lah…” (HR. Bukhari 317 & Muslim 1211)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  memerintahkan A’isyah yang sedang haid untuk menyisir rambutnya. Padahal beliau baru saja datang dari perjalanan. Sehingga kita bisa menyimpulkan dengan yakin, pasti akan ada rambut yang rontok. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh A’isyah untuk menyimpan rambutnya yang rontok untuk dimandikan setelah suci haid.

Hadis ini menunjukkan bahwa rambut rontok atau potong kuku ketika haid hukumnya sama dengan kondisi suci. Artinya, tidak ada kewajiban untuk memandikannya bersamaan dengan madsi haid. Jika hal ini disyariatkan, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan jelaskan kepada A’isyah agar menyimpan rambutnya dan memandikannya bersamaan dengan mandi haidnya.

Dalam Fatawa Al-Kubra, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terdapat pertanyaan, “Ketika seorang sedang junub, kemudian memotong kukunya, atau kumisnya, atau menyisir rambutnya. Apakah dia salam dalam hal ini? Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa orang yang memotong rambutnya atau kukunya ketika junub maka semua bagian tubuhnya ini akan kembali pada hari kiamat dan menuntut pemiliknya untuk memandikannya, apakah ini benar?”

Syaikhul Islam memberi jawaban

قد ثبت عن النبي صلى الله عليه و سلم من حديث حذيفة ومن حديث أبي هريرة رضي الله عنهما : أنه لما ذكر له الجنب فقال : إن المؤمن لا ينجس. وفي صحيح الحاكم : حيا ولا ميتا

.

“Terdapat hadis shahih dari Hudzifah dan Abu Hurairah radliallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang orang yang junub, kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.’ Dalam shahih Al-Hakim, ada tambahan, ‘Baik ketika hidup maupun ketika mati.’

وما أعلم على كراهية إزالة شعر الجنب وظفره دليلا شرعيا بل قد قال النبي للذي أسلم : ألق عنك شعر الكفر واختتن. فأمر الذي أسلم أن يغتسل ولم يأمره بتأخير الاختتان وإزالة الشعر عن الاغتسال فإطلاق كلامه يقتضي جواز الأمرين

.

Sementara saya belum pernah mengetahui adanya dalil syariat yang memakruhkan potong rambut dan kuku, ketika junub. Bahkan sebaliknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orang yang masuk islam, “Hilangkan darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.” Beliau juga memerintahkan orang yang masuk islam untuk mandi. Dan beliau tidak memerintahkan agar potong rambut dan khitannya dilakukan setelah mandi. Tidak adanya perintah, menunjukkan bolehnya potong kuku dan berkhitan sebelum mandi…’” (Fatawa Al-Kubra, 1:275)

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Read More --►

Ini Tanda-tanda Pertolongan Allah Sebelum Sakaratul Maut



SETIAP yang bernyawa pasti mengalami kematian. Hanya Allah Ta’ala Yang Mahahidup, Berdiri Sendiri, tidak serupa dengan makhluk-Nya. Allah Ta’ala Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan. Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu.

Kematian adalah kepastian paling pasti dari kehidupan seorang manusia dan makhluk hidup lainnya. Hanya waktu, tempat, dan proses kematian itu yang menjadi rahasia. Hanya Allah Ta’ala Yang Maha Mengetahui. Dialah yang mengatur seluruhya dengan sebaik-baik pengaturan.

Meski mati merupakan kepastian, banyak manusia yang abai dan lalai. Sebagian kaum Muslimin pun dihinggapi penyakit jahat ini. Mereka bangga dan betah dengan dunia, padahal hanya sementara. Kemudian lalai dan acuh terhadap kematian dan akhirat, padahal keduanya merupakan kepastian.

Akhir kehidupan manusia ada dua; baik atau buruk. Husnul khatimah atau su-ul khatimah. Terkait akhir kehidupan ini, ada satu rahasia agung yang disampaikan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Ialah tentang cara mengetahui, apakah seseorang mendapatkan pertolongan atau tidak saat menghadapi sakaratul maut.

Tanda-tanda pertolongan ini merupakan kesimpulan amat pasti dari sebuah hadits mulia yang diriwayatkan dari sahabat agung Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu.

“Jika Allah Ta’ala menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Allah Ta’ala akan menolongnya.”

Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana cara Allah Ta’ala menolongnya?”

Jawab Nabi, “Allah Ta’ala akan menuntunnya untuk melakukan amal shalih sebelum datang kematiannya.”

Inilah tandanya. Inilah kaidahnya.

Maka serumit dan sekelam apa pun masa lalu seseorang, hendaknya hanya dijadikan sebagai pelajaran dalam kehidupan. Sebab, ketika Allah Ta’ala limpahkan hidayah kepadanya, dia akan serta-merta menjadi pribadi shalih yang gemar melakukan amal dengan ikhlas dan meneladani Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.

Sebaliknya, ada begitu banyak contoh orang baik yang terjerumus dalam keburukan di akhir hayatnya. Mulai dari tertarik dengan keburukan, mencicipi, mengulangi, ketagihan, sampai kemudian menjadi kebiasaan dan dilakukan menjelang ajal, lalu benar-benar meninggal dunia sebelum bertaubat.

Sumber: Kisahikmah.

Read More --►

Saturday, January 12, 2019

3 Perkara Membinasakan, Menyelamatkan, Menghapus Dosa, dan Meningkatkan Derajat





RASULULLAH SAW bersabda: “Ada tiga perkara yang membinasakan, tiga perkara yang menyelamatkan, tiga perkara yang menghapus dosa, dan tiga perkara yang meningkatkan derajat.”

Adapun tiga perkara yang membinasakan:
1. Kekikiran yang ditaati.
2. Hawa nafsu yang dituruti.
3. Kekaguman seseorang terhadap dirinya.

Adapun perkara yang menyelamatkan:
1. Berbuat adil ketika marah maupun senang.
2. Sederhana ketika miskin ataupun kaya.
3. Takut kepada Allah ketika sendirian maupun di keramaian.

Adapun perkara yang menghapuskan dosa:
1. Menunggu shalat sampai shalat berikutnya.
2. Menyempurnakan wudhu dalam keadaan dingin.
3. Berjalan menuju shalat berjama’ah.

Adapun perkara yang mengangkat derajat:
1. Memberi makan.
2. Menyebarkan salam.
3. Shalat di waktu malam, ketika manusia sedang tidur.

(HR. Ath-Thabrani dari Ibnu Umar ra Shahihul Jami : 3045). 
Read More --►

Kulit Kambing pun kalau Berteman dengan Beduk Bakal Habis Dipukuli Orang



Teman yang buruk itu seperti nyamuk dan kita tidak merasakannya kecuali setelah ia menyengat.

Berteman boleh dengan siapa saja, tetapi untuk teman akrab harus pilih-pilih, karena ia akan sangat mempengaruhi. Rasulullah saw bersabda:

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang itu tergantung pada agama temannya. Oleh karena itu, salah satu di antara kalian hendaknya memperhatikan siapa yang dia jadikan teman (Hr Abu Daud).

Berteman dengan yang baik bukan alasan meninggalkan mereka yang belum baik, namun perkuat dulu iman dan perbanyak ilmu agar engkau tidak terpengaruh tapi justru mempengaruhi.

Karena aktivis dakwah itu: Berbaur tetapi punya jati diri.

Seorang mukmin itu bagaikan cermin bagi mukmin yang lain, karenanya perlihatkan saja siapa teman teman dekatmu, maka aku akan kenal siapa dirimu.

Berteman dengan penjahat akan dicap sebagai penjahat walau kita bukan penjahat, tetapi berteman dengan si akhlak mulia, maka kita akan ikut menjadi mulia.

Kulit kambing ketika berteman dengan beduk, maka ia habis dipukul orang, tetapi ketika ia menjadi sampul Al-Quran maka ia ikut menjadi mulia. Allah SWT berfirman:

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِين

“Teman akrab akan menjadi musuh antara satu dengan lainnya pada hari kiamat kecuali orang-orang yang bertaqwa. ( Azzukhruf 67).
Read More --►

Friday, January 11, 2019

Jangan Lakukan Ini di Bulan Muharram karena Dosanya…



KITA tentu sudah mengetahui bahwasanya bulan Muharram merupakan salah satu bulan yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di bulan ini Allah melimpahkan kemuliaan dan keberkahannya jauh lebih besar daripada bulan-bulan lainnya. Maka, kita harus mampu memanfaatkan bulan ini dengan sebaik-baiknya.

Ketika kita melakukan suatu amalan kebaikan, maka Allah akan melipatgandakannya. Tentu, hal ini juga terjadi di bulan lain selain bulan Muharram. Bedanya, jika di bulan lain melakukan perbuatan maksiat dihitung satu dosanya, nah di bulan ini, dosanya lebih besar.

Menurut Imam Qatadah Rahimahullaah, bahwa kezaliman pada bulan-bulan haram lebih besar dosanya daripada berbuat zalim di selainnya. Walaupun perbuatan zalim (dosa) secara keseluruhan adalah perkara besar (dosa besar), tapi Allah melebihkan perkara sesuai dengan kehendak-Nya. Sebagaimana Allah telah memilih hamba-hamba pilihan dari makhluk-Nya: Dia telah memilih beberapa dari malaikat sebagai rasul, begitu dari antara manusia sebagai rasul (utusan-Nya). Dia memilih dari beberapa kalam-Nya sebagai bahan untuk berdzikir kepada-Nya. Dia juga memilih dari beberapa tanah di bumi ini sebagai masjid. Dia juga telah memilih bulan Ramadhan dan bulan-bulan haram dari beberapa bulan yang ada. Dia telah memilih hari Jum’at dari sejumlah hari dan memilih Lailatul Qadar dari beberapa malam. Maka agungkan apa yang telah Dia agungkan, karena sesungguhnya mulia dan agungnya sesuatu tergantung pada pengagungan Allah terhadapnya pada sisi orang yang paham lagi berakal,” (Ringkasan Tafsir QS. Al-Taubah: 36 dari Tafsir Ibnu Katsir).

Maka, dapat kita ketahui bahwa jika kita berbuat maksiat di bulan ini, maka balasannya akan berlipat ganda, layaknya pahala yang dilipatgandakan. Oleh sebab itu, jika kita tak ingin memperoleh siksaan yang amat pedih akibat berbuat dosa di bulan ini, maka jangan pernah melakukannya. Jagalah diri kita dari perbuatan maksiat.

Larangan berbuat dosa di bulan Muharram, bukan berarti kita diperbolehkan melakukannya di bulan lain. Tentu saja, perbuatan maksiat itu dilarang. Melakukan perbuatan itu di bulan lain juga akan memperoleh ganjarannya. Tetapi, jika sampai melakukan perbuatan terlarang di bulan ini, maka ganjarannya akan dilipatgandakan. Wallahu ‘alam.

SUMBER: RINGKASAN TAFSIR QS. AT-TAUBAH: 36 TAFSIR IBNU KATSIR
Read More --►